Ketahui Risiko Kesehatan yang Mengincar Atlet MMA
Buat kamu pecinta Atlet MMA (mixed martial arts) yang menonton pertandingan Rudi Ahong Vs Alex Munser Sabtu (20/2) lalu pasti bisa melihat bagaimana stamina kedua fighter yang megap-megap seolah kewalahan. Walaupun akhirnya kelas welterweight tersebut dimenangkan oleh Alex Munser, pertandingan keduanya membawa catatan tersendiri.
Seperti yang diunggah di sosial media One Pride MMA, dr. Junaidi Sp.KO, selaku ketua dokter medis One Pride MMA berkomentar kalau kedua fighter memiliki kendala fisik yang berbeda. Ahong dengan usianya yang hampir kepala empat, sedangkan Alex yang menurunkan berat badan secara drastis yang pastinya berdampak pada kondisi fisik saat bertanding.
Atlet ataupun fighter yang seharusnya punya stamina mumpuni ternyata berpeluang memiliki risiko kesehatan yang serius. Seperti apakah risiko kesehatan yang mengincar atlet MMA? Informasi selengkapnya baca di sini!
Tingkat Cedera MMA Lebih Tinggi Ketimbang Tinju
Menurut jurnal kesehatan yang dipublikasikan oleh Sage Journals, disebutkan bahwa tingkat cedera atlet MMA ketika berkompetisi berkisar di antara 23 hingga 29 per 100 partisipasi pertarungan. Cedera ini paling sering terjadi di daerah kepala dan wajah. Kulit yang robek dan patah tulang adalah jenis cedera yang paling umum.
Studi tentang seni bela diri tertentu mengungkapkan bahwa tinju, karate, Muay Thai, dan taekwondo memiliki tingkat cedera kepala dan wajah yang tinggi. Sedangkan atlet jiu jitsu Brasil, judo, dan gulat memiliki tingkat yang tinggi mengalami cedera sendi.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh University of Alberta’s Sather Sports Medicine Clinic, MMA secara statistik lebih aman daripada olahraga tinju. Petinju lebih mungkin menerima cedera yang akan memengaruhi kesehatan mereka dalam jangka panjang, sedangkan fighter MMA terbukti memiliki lebih sedikit risiko menerima cedera yang akan memengaruhi kesehatan jangka panjang mereka. NAmun, dari segi risiko luka dan memar di wajah, tingkat cedera MMA lebih tinggi daripada tinju.
Kehilangan Kapasitas Otak untuk Atlet yang Berkarier Lama
Semakin lama karier seorang fighter, semakin besar kemungkinan si atlet akan kehilangan kapasitas otak. Sarah Banks, seorang neuropsikolog dan peneliti di Lou Ruvo Center for Brain Health di Cleveland Clinic, Las Vegas, mempelajari pemindaian MRI untuk 135 petarung MMA dan 104 petinju, para peneliti menemukan indikasi hubungan antara durasi karier petarung dan degradasi signifikan di area tertentu di otak.
Berdasarkan temuannya, fighter dengan durasi karier lebih panjang mengalami kehilangan volume otak yang jauh lebih tinggi dari biasanya. Penyebab utama dari berkurangnya fungsi otak tersebut dikarenakan penuaan, penyakit, atau trauma.
Pada fighter dengan pengalaman 15 tahun, volume otak di caudate (area penting untuk pembelajaran dan memori) 10 persen lebih rendah dibandingkan dengan figter yang bertarung selama lima tahun atau kurang. Volume otak lima persen lebih rendah di amigdala, yang memainkan peran besar dalam memori dan emosi, begitu juga putamen yang mengatur gerakan dan berbagai jenis pembelajaran.
Caudate dan putamen adalah dua komponen dari basal ganglia yang secara umum mengontrol fungsi motorik, perilaku, dan pembelajaran. Fighter MMA yang berkarier lebih lama lebih sering memiliki hubungan yang lemah antara basal ganglia dan area lain di otak.
Dr. Vincent McInerney dari St. Joseph’s Regional Medical Center berkomentar kalau MMA adalah olahraga kompetisi dengan risiko tinggi. Buat orang lain mungkin apa yang dilakukan para fighter adalah sesuatu yang tidak masuk akal, tetapi semua fighter punya tujuannya masing-masing.
Kalau Conor McGregor bilang, “I’m comfortable in uncomfortable …” atau seperti Khabib Nurmagomedov, “I don’t fight for money, I fight for my legacy …”